tirto.id - Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI telah menyetujui untuk menindaklanjuti perkara dugaan pelanggaran etik lima anggota dewan berstatus nonaktif akhir Oktober lalu. Kelanjutannya, pada Rabu (5/11/2025), MKD menjabarkan putusannya.
Mula-mula, MKD DPR RI memutuskan teradu kasus dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR RI yang dinonaktifkan, Ahmad Sahroni, melanggar kode etik karena melontarkan pernyataan yang tidak bijak.
Wakil Ketua MKD DPR RI, Imron Amin mengatakan kalau Sahroni sebaiknya menanggapi kritikan-kritikan dari publik dengan menggunakan kalimat yang pantas dan bijaksana, serta menghindari kata-kata yang tidak pas.
"Bahwa telah mencermati pernyataan Teradu V (lima) Ahmad Sahroni yang dipersoalkan para pengadu, Mahkamah berpendapat pernyataan tersebut tidak bijak," kata Imron saat membacakan putusan MKD di kompleks parlemen, Jakarta.
Dengan pernyataan Sahroni yang viral itu, MKD menyatakan bahwa Sahroni telah melanggar kode etik dan menjatuhkan hukuman berupa nonaktif selama enam bulan sebagai anggota DPR RI. Hukuman itu dihitung sejak penonaktifan oleh Partai NasDem. "Selama masa penonaktifan tidak mendapatkan hak keuangan," katanya.
Imron menjelaskan bahwa putusan yang dibacakan MKD itu merupakan hasil permusyawaratan pimpinan dan anggota MKD yang bersifat final dan mengikat sejak dibacakan.
Selain Sahroni, Nafa Urbach, dan Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio juga diputuskan melanggar kode etik hingga tetap dinyatakan nonaktif dari DPR RI dengan kurun waktu yang berbeda-beda. Nafa Urbach misalnya, dihukum nonaktif tiga bulan dan Eko Patrio diganjar hukuman nonaktif empat bulan.
Tak seperti tiga sejawatnya, Surya Utama alias Uya Kuya dan Adies Kadir diputuskan tidak melanggar kode etik. Dengan begitu politisi Partai Amanat Nasional (PAN) dan Golkar tersebut kini kembali ditetapkan menjadi anggota DPR RI aktif dan melanjutkan masa jabatannya di periode 2024-2029.
Uya Kuya ditetapkan tidak melanggar kode etik karena dirinya diklaim justru korban penyebaran berita bohong atau hoaks. MKD DPR RI menyatakan, video-video Uya Kuya yang berjoget di berbagai lokasi hingga menjadi sorotan publik tidak terkait dengan kenaikan gaji DPR. Itu mengapa nama Uya Kuya dikatakan harus dipulihkan.
Tak Ada Istilah Nonaktif dalam UU MD3
Putusan MKD terkait sejumlah anggota DPR ini memang bukan hal mengejutkan. Dosen sekaligus Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, mengatakan dalam UU MD3 tidak mengenal istilah nonaktif.
Merujuk UU MD3 atau UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, konteks nonaktif hanya berlaku pada posisi pimpinan atau anggota MKD, bukan pada anggota DPR.
Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 144 yang menyebut bahwa pimpinan DPR dapat menonaktifkan sementara pimpinan dan/atau anggota MKD yang sedang diadukan dan pengaduannya dinyatakan memenuhi syarat serta lengkap untuk diproses.
Sementara status anggota DPR hanya bisa diberhentikan melalui proses pergantian antarwaktu (PAW). Aturan itu tertuang dalam Pasal 239 UU MD3, di mana proses PAW ini harus melibatkan partai, Pimpinan DPR, dan penetapan Presiden.
“Ya, ini hanya sekadar—pada saat akhir Agustus—memenuhi apa yang kemudian menjadi pesan publik, tetapi sebenarnya di situ ada banyak hal yang dalam tanda petik, dimanipulasi,” ujar Satria saat berbincang dengan jurnalis Tirto, Kamis (6/11/2025).

Buntut rangkaian aksi demonstrasi pada akhir Agustus lalu, lima orang wakil rakyat yang kemudian diadukan ke MKD, kemudian dinonaktifkan partainya. Pernyataan dan tindakan kontroversial jadi alasannya kala itu.
Mulai dari menyebut rakyat yang meminta DPR dibubarkan sebagai, "orang tolol sedunia", sampai dalih dan hitungan tak berdasar untuk menjustifikasi angka tunjangan rumah anggota DPR RI yang fantastis. Pernyataan-pernyataan itu kemudian memicu protes keras dari masyarakat.
“Keputusan dari MKD ini tidak mengembalikan apa-apa ya, yang dimaksud dalam konteks ini adalah kepercayaan publik kepada integritas dan kredibilitas dari parlemen. Dan kalau kita tahu, dari tahun ke tahun memang persepsi publik terhadap DPR itu sangat lemah,” lanjut Satria.
Pria yang juga menjadi anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) itu juga menyoroti soal sosok Adies Kadir yang sempat diisukan digantikan oleh anaknya saat dinonaktifkan. Menurut Satria, jangan sampai kemudian ‘bahasa nonaktif’ ini justru menjadi celah adanya kesempatan seperti itu.
Seharusnya jadi momentum evaluasi DPR
Dengan tidak adanya istilah nonaktif anggota DPR di UU MD3, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai putusan MKD ini hanya akan dianggap publik sebagai lip service belaka.
Boro-boro memberikan efek jera terhadap anggota DPR yang bermasalah, ia beranggapan, hal ini justru bisa menimbulkan gelombang amarah yang lain dan tidak mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada DPR.
Padahal, saat-saat seperti ini harusnya bisa menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh di badan DPR, utamanya terkait komunikasi publik. Jangan sampai kesempatan ini disia-siakan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.

“Dan celah keputusan ini bisa kemudian dicari-cari oleh kelompok-kelompok masyarakat yang tidak puas, yang akhirnya bisa jadi pemicu lain dari demonstrasi atau kritik terhadap DPR yang lebih besar gelombangnya,” ujar Kunto kepada Tirto, Kamis (6/11/2025).
Perbaikan terhadap cara komunikasi anggota DPR, kata dia, harus dilakukan secara menyeluruh, ketimbang hanya sekadar memberi sanksi nonaktif. Sebagaimana fungsinya, DPR harus memahami bagaimana komunikasi itu membutuhkan empati, terutama dengan masyarakat yang dia wakili.
Setelah memahami perlunya empati dalam komunikasi publik, barulah DPR menjalankan tugasnya untuk bisa memberikan edukasi dan informasi yang jelas kepada masyarakat. Seperti misal apa saja yang bisa dilakukan DPR saat reses dan membahas UU.
“Jadi menurut saya komunikasinya harus transparan dan jelas dan menjawab ekspektasi dari masyarakat. Ini yang menurut saya paling tidak legitimasi anggota DPR, bahwa DPR itu dibutuhkan, anggotanya juga dibutuhkan, itu jadi opini publik yang kuat,” ujar Kunto.
Kembalikan Hukuman kepada Tuntutan Publik
Menyoal hukuman yang pantas terhadap anggota DPR, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, memandang perihal itu seharusnya mengacu pada tuntutan publik ketika demonstrasi lalu, yaitu pemberhentian, bukan nonaktif sementara.
“Tentu saja ketegasan untuk mengambil keputusan memang sulit di MKD, ketika mereka bekerja tidak dalam posisi yang cukup independen. Kegalauan partai politik yang sebelumnya memberikan sanksi nonaktif justru diikuti dan dipertegas oleh MKD," kata Lucius saat dihubungi lewat aplikasi perpesanan, Kamis (6/11/2025).
"Sesuatu yang membuka mata kita bahwa parpol dan MKD sangat mungkin saling memengaruhi sehingga keraguan parpol membuat sanksi juga jadi pilihan MKD,” tambah dia
MKD dinilai hanya sekadar memberikan sanksi agar ada alasan ke publik, bukan sanksi supaya anggota DPR diajarkan punya adab dan bisa menimbulkan efek jera, serta publik dibikin kembali percaya kepada DPR.
Lucius beranggapan hasil keputusan MKD atas kasus dugaan pelanggaran kode etik lima orang anggota DPR tak mengejutkan. Dari proses sidang yang sangat kilat, lalu metode penyelidikan bersama para saksi dan saksi ahli, sudah kelihatan kecenderungan hasil akhir dengan keputusannya.
“Proses pendalaman kasus dugaan pelanggaran etik hanya terbatas pada kesaksian saksi dan saksi ahli tanpa ada upaya menunjukkan barang bukti, menggali barang bukti, mencari bukti tambahan,” lanjut Lucius.

Menurut dia, pendalaman dengan para saksi juga nampak dilakukan dengan pola yang cenderung mengarahkan para saksi pada jawaban yang diinginkan anggota MKD. Penyelidikan soal substansi pelanggaran etik jadi isu minor, sementara yang lebih banyak dibahas justru soal informasi hoaks yang oleh MKD dianggap sebagai biang kerok demonstrasi hingga penonaktifan kelima anggota.
“Dengan proses seperti itu, tak mengherankan jika akhirnya keputusannya cenderung ringan. Ya kalau MKD menganggap kelimanya menjadi korban informasi hoaks, jadi masuk akal sih sanksi yang diberikan. Bahkan ada 2 orang yang terbebas dari tuduhan pelanggaran etika,” kata Lucius.
Padahal, pokok soal yang seharusnya menjadi kerjaan MKD adalah soal bagaimana kode etik DPR dilaksanakan atau tidak, dalam kasus yang melibatkan lima orang anggota DPR tersebut.
“Kode etik DPR bicara soal bagaimana anggota DPR bertindak dan berkata-kata dengan menjaga kehormatan dan maruah DPR. Jadi batu uji untuk proses penegakan etik ya harusnya kode etik, bagaimana tindakan dan pernyataan anggota DPR dinilai berhadapan dengan kehormatan, citra, dan maruah DPR,” ujar Lucius.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































