tirto.id - Data pertumbuhan ekonomi kuartal III 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) kian menunjukkan rapuhnya fondasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selama periode Juli-September, produk domestik bruto (PDB) hanya tumbuh 5,04 persen (year on year/yoy), melambat dibanding kuartal sebelumnya yang masih mencapai 5,12 persen.

Demikan pula jika kita membandingkannya secara kuartalan (quartal to quartal/qtq), di mana ekonomi hanya meningkat sebesar 1,43 persen, jauh lebih rendah dibanding kenaikan 4,04 persen pada periode April-Juni 2025.

Meski begitu, data perekonomian tersebut cukup mengejutkan. Sebab, beberapa ekonom justru lebih pesimistis dengan meramalkan bahwa pertumbuhan kuartal III di bawah 5 persen. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), misalnya, memprediksi bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal III 2025 hanya akan naik sekitar 4,86-4,90 persen.

Kini, jika dilihat secara kumulatif atau sepanjang periode Januari-September 2025 (year to date/ytd), ekonomi Indonesia telah tumbuh sebesar 5,01 persen—sedikit di bawah asumsi makro APBN yang berada di angka 5,2 persen.

Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh. Edy Mahmud, menuturkan bahwa pelambatan ekonomi pada kuartal III 2025 sejalan dengan pola musiman yang sudah terjadi sejak kuartal I 2021.



Buktinya, ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia secara kuartalan anjlok hingga -0,93 persen qtq pada kuartal I 2021, dan berhasil berbalik arah menjadi 3,30 persen qtq di kuartal selanjutnya, pada periode Juli-September tahun tersebut ekonomi Indonesia tetap mengalami perlambatan dengan hanya tumbuh di level 1,57 persen qtq.

Sementara secara tahunan, ekonomi Indonesia pada kuartal III 2021 turun ke angka 3,53 persen yoy, setelah di kuartal II 2021 tumbuh hingga 7,08 persen yoy.

“Secara year on year, ekonomi Indonesia triwulan II 2025 tumbuh 5,04 persen, dibandingkan dengan triwulan yang sama di tahun 2024. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan III 2024 yang tumbuh sebesar 4,95 persen,” katanya, dalam rilis BPS, di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).

Menurut Edy, perlambatan pertumbuhan tersebut juga tak lepas dari melemahnya komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga Indonesia—yang berkontribusi hingga 53,14 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Tercatat, komponen ini tumbuh sebesar 4,89 persen yoy sepanjang Juli hingga September 2025, lebih rendah dari periode sama tahun sebelumnya yang sebesar 4,91 persen yoy, maupun posisi di kuartal II 2025 yang tumbuh mencapai 4,97 persen y0y.

Kondisi ini, hematnya, dipengaruhi oleh pendapatan dan optimisme masyarakat dalam berbelanja. “Jadi, selain pendapatan, kadang-kadang kita semua itu melakukan belanja kalau kita merasa optimis, ini perekonomian baik-baik saja. Jika ekonomi tumbuh lebih tinggi dan berdampak pada pendapatan rumah tangga, maka hal ini juga akan dapat mengakselerasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga,” tambah Edy.

Sejalan dengan konsumsi rumah tangga yang merupakan pendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran, peningkatan pendapatan total atau disposable income masyarakat lah yang akan mampu membalikkan konsumsi rumah tangga kembali tumbuh tinggi. Adapun, menurut Edy, salah satu program yang bisa membuat pendapatan total masyarakat mengalami peningkatan adalah dengan memberikan bantuan sosial, khususnya kepada masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Barangkali program-program yang cocok, kemudian bisa merangsang rumah tangga itu merangsang konsumsi. Sebetulnya, di triwulan sebelumnya juga banyak ya, program bantuan dan sebagainya dari pemerintah yang kemudian itu juga memicu konsumsi dari rumah tangga,” tuturnya.

Sementara itu, bagi Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto, ekonomi Indonesia tetap solid karena masih mampu menunjukkan pertumbuhan di atas 5 persen. Bahkan, dengan pertumbuhan ekonomi yang dicapai saat ini, Indonesia menjadi negara ketiga dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di antara negara-negara G20, hanya di bawah India dan Cina.

“Indonesia ekonomi masih solid diantara G20 kita nomor 3,” ujar dia, kepada para pewarta di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).



Tidak hanya itu, menurut Airlangga, pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2025 juga masih lebih baik ketimbang capaian periode sama di tahun lalu yang hanya sebesar 4,95 persen yoy dan 1,50 persen qtq.

Dengan stimulus tambahan senilai Rp30 triliun yang digulirkan mulai awal kuartal IV 2025, hingga penyaluran Rp50 triliun Kredit Usaha Rakyat (KUR) ke 800 ribu debitur, politikus Partai Golkar itu yakin, seluruh sektor ekonomi akan segera bergerak.

Dus, geliat dari sektor-sektor industri inilah yang kemudian diharapkan dapat membuat ekonomi Indonesia di sisa tahun 2025 bisa tumbuh sesuai target, mencapai 5,2 persen (yoy). “Nah upaya kita perlu lakukan di Q4 itu kita harus tingkatkan lagi ekonomi supaya angka rata-rata 5,2 bisa dicapai. Kita kan menggelontorkan bansos dan nilainya kan hampir Rp30 triliun. Kalau konsumsi relatif spike ya masuk kuartal IV,” ucap Airlangga.

Meski begitu, ekonom dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia masih rapuh. Sebab, fondasi ekonomi Indonesia dirasa belum menyebar merata ke seluruh komponen dan wilayah, sementara transmisi kebijakan belum bekerja penuh.



“Konsumsi rumah tangga, mesin terbesar PDB melambat ke 4,89 persen dan turun secara kuartalan setelah puncak musiman. Rumah tangga tetap berbelanja kebutuhan pokok dan layanan pendidikan, tetapi menahan barang tahan lama sampai prospek pendapatan lebih pasti dan bunga kredit turun nyata. Selama sinyal ini belum pulih, laju agregat mudah terseret oleh kehati-hatian belanja,” ujarnya, kepada Tirto, Rabu (5/11/2025).

Dorongan pertumbuhan saat ini lebih banyak datang dari ekspor dan investasi. Ekspor barang dan jasa melaju hingga ke angka 9,91 persen (yoy), setelah di periode yang sama tahun sebelumnya hanya tumbuh 8,79 persen (yoy). Pertumbuhan Ekspor barang dan jasa ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan impor barang dan jasa yang terjun bebas ke level 1,18 persen (yoy), dari di kuartal III 2024 tumbuh double digit 11,92 persen.

Sementara itu, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang masih difokuskan pada proyek hilirisasi, energi dan logistik hanya mampu tumbuh 5,04 persen di akhir September 2025. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan kuartal III tahun lalu yang sebesar 5,16 persen dan anjlok dari posisi kuartal II 2025 sebesar 6,99 persen. Jika ditilik lebih jauh, laju PMTB didorong oleh pertumbuhan PMTB Mesin dan perlengkapan yang mencapai 17 persen.

Kemudian, pengeluaran pemerintah di triwulan III 2025 diklaim tumbuh hingga 5,49 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya di 2024 yang hanya sebesar 4,62 persen. Bahkan, jika dibandingkan dengan kuartal II 2025 yang mengalami kontraksi sebesar 0,33 persen, pengeluaran konsumsi pemerintah berhasil berbalik arah.

“Namun, muncul kejanggalan ketika kita melihat realisasi belanja pemerintah hingga September 2025 hanya 61,71 persen. Per Agustus 2025, hanya sekitar 54,14 persen dari target APBN. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2024 dengan angka 67,72 persen per September 2024. Artinya, secara data di realisasi penyerapan anggaran masih buruk, namun pertumbuhan konsumsi pemerintah meningkat signifikan. Jauh lebih tinggi dibandingkan triwulan III 2024,” ucap ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, dalam keterangannya, dikutip Kamis (6/11/2025).

Sementara itu, secara lapangan usaha, pertumbuhan ekonomi triwulan III 2025 ditunjang oleh sektor jasa. Sebaliknya, sektor industri pengolahan meski masih menjadi kontributor pertumbuhan terbesar masih mengalami perlambatan dibandingkan triwulan II 2025. Namun, kondisi ini sejalan dengan PMI Manufaktur Indonesia yang berada di level ekspansi pada Agustus dan September.

Di sisi lain, sektor jasa seperti jasa pendidikan, perusahaan, transportasi, dan informasi-komunikasi yang pesat membuat lapangan kerja yang tersedia cukup minim. Akibatnya, tingkat pengangguran terbuka (TPT) meningkat menjadi 4,85 persen dibandingkan Februari 2025 yang hanya 4,76 persen. Sedangkan, jumlah orang menganggur bertambah 180 ribu tenaga kerja.

“Pertumbuhan ekonomi kita semakin tidak berkualitas,” tambah Huda.



Meski begitu, berbagai kombinasi inilah yang mengangkat PDB melampaui 5 persen, walau konsumsi rumah tangga melemah. Hanya saja, ketergantungan seperti itu menimbulkan risiko: perubahan harga komoditas, permintaan mitra dagang, atau gangguan rantai pasok yang bakal segera memantul ke output.

“Pertumbuhan tetap tampak baik di atas kertas, tetapi sensitif terhadap guncangan eksternal,” tutur ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi.

Di sisi lain, transmisi moneter belum tuntas. Penurunan suku bunga acuan tidak langsung mengalir ke bunga kredit karena persepsi risiko, struktur pendanaan perbankan, dan preferensi likuiditas.

Padahal, ketika kanal kredit tersumbat, rumah tangga dan dunia usaha tidak merasakan insentif pembiayaan yang lebih murah. Akibatnya, konsumsi barang tahan lama dan investasi swasta tidak berakselerasi setara harapan, sehingga efek kebijakan hilang di ruang tunggu intermediasi.

Pun, penempatan dana Rp200 triliun oleh Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa pada 12 September lalu di lima Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) nyaris tidak bertaji di pertumbuhan kuartal III 2025. Barangkali, ini bisa dimaklumi karena transmisi penyaluran pembiayaan butuh jeda: bank menyesuaikan pricing, menilai risiko, dan menyiapkan pipeline kredit sebelum dana benar-benar menjadi pinjaman baru.

“Rumah tangga dan dunia usaha juga perlu waktu untuk merespons bunga efektif yang lebih rendah, menandatangani kontrak, dan merealisasikan pembelian barang tahan lama atau investasi peralatan. Artinya, dampak terbesar dari injeksi likuiditas itu logisnya baru terlihat di triwulan IV, saat penurunan bunga efektif terasa di cicilan dan penyerapan kredit modal kerja mulai mengalir ke produksi serta distribusi,” jelas dia.

Sementara itu, bantuan sosial (bansos) yang digulirkan sejak awal semester II berfungsi sebagai bantalan, tetapi daya dorongnya ke pertumbuhan triwulan III masih terbatas. Bagaimana tidak, bantuan sosial didesain lebih kuat menjaga daya beli kebutuhan pokok daripada memicu lonjakan belanja non-esensial.

Akibatnya, dampak bansos paling dirasakan kelompok berpendapatan rendah, sementara kontribusi konsumsi ke PDB membutuhkan pergeseran ke barang tahan lama dan jasa bernilai tambah yang baru bangkit jika ekspektasi pendapatan membaik dan kredit ritel benar-benar longgar.

“Agar pengaruhnya menguat di triwulan IV, pemerintah perlu mempercepat penyaluran TKD yang siap eksekusi di daerah, menautkan penempatan dana dengan target penurunan bunga efektif pada produk prioritas, dan memastikan rantai pasok bahan baku lancar agar setiap rupiah bantuan serta kredit segera berubah menjadi jam kerja, pesanan industri, dan penjualan ritel,” tegas Syafruddin.

Memiliki pendapat berbeda, ekonom Celios, Nailul Huda menilai triwulan IV 2025 akan menjadi pertaruhan, apakah pertumbuhan ekonomi akan meningkat kembali. Apalagi, berdasarkan data historis dan siklus tahun-tahun sebelumnya, selain karena dukungan libur panjang Natal dan Tahun Baru, pemerintah selalu menggeber belanja di akhir tahun.

“Pemerintah harusnya fokus kepada mengembalikan daya beli masyarakat. Pada triwulan IV 2024, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tertinggi selama tahun 2024. Tinggal bagaimana pemerintah lebih memberikan stimulus ekonomi untuk mendorong daya beli,” tukas Huda.

Baca juga artikel terkait PERTUMBUHAN EKONOMI atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Insider
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Hendra Friana